Dalam kunjungan Wakil Menteri Pertanian (Wamentan) RI, Harvick Hasnul Qolbi ke sejumlah pasar di wilayah penyangga Ibu Kota Jakarta, seperti Kota Tangerang Selatan dan Kota Bekasi beberapa hari lalu, patut diapresiasi. Berkat ‘blusukan’ ke pasar tersebut, kita dapat mengetahui kondisi ril yang sedang dikeluhkan oleh para pedagang. Selain masalah kenaikan harga pangan, para pedagang rupanya mengeluhkan daya beli masyarakat yang menurun.
Memang jika kita lihat dari data Indeks Harga Konsumen (IHK) yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada awal Maret tercatat telah terjadi deflasi sebesar 0,02 persen pada Februari 2022 dibanding bulan sebelumnya (mtm).
Kelompok makanan, minuman, dan tembakau memberikan andil yang cukup signifikan terhadap deflasi Februari 2022 yakni sebesar -0,22 (mtm) persen atau terkontraksi hingga -0,88 persen. Deflasi ini merupakan indikator penurunan harga, yang bisa saja disebabkan karena turunnya permintaan.
Bisa dibilang ini merupakan fenomena yang jarang terjadi di awal tahun, apalagi ini terjadi pada kelompok makanan, minuman, dan tembakau yang biasanya selalu menjadi penyumbang inflasi. Jika kita cermati, sepanjang Januari-Februari telah terjadi kenaikan harga pada beberapa komoditas pangan, seperti minyak goreng, kedelai, hingga daging. Disamping pada periode yang juga terjadi kenaikan kasus COVID-19 varian Omicron, yang menyebabkan peningkatan PPKM level 3. Sehingga aktivitas masyarakat pun ikut terbatas.
Saya menduga kenaikan harga pada beberapa komoditas pangan ini menjadi salah satu pemicu terjadinya penurunan daya beli masyarakat. Dalam hukum permintaan dijelaskan bahwa semakin tinggi harga suatu barang maka semakin sedikit permintaan terhadap barang tersebut. Begitu pula sebaliknya, semakin rendah harga suatu barang maka semakin banyak permintaan terhadap barang tersebut.
Sehingga hal ini menyebabkan terjadinya perubahan perilaku konsumsi masyarakat untuk mencari barang substitusi (pengganti). Misalnya saja, untuk memenuhi kebutuhan protein, masyarakat akan mengkonsumsi daging. Namun karena harga daging sedang naik, maka masyarakat akan memilih barang substitusi (pengganti), seperti telur.
Oleh karena itu, pemerintah perlu menjaga stabilitas harga dan ketersediaan pangan dengan operasi pasar secara rutin. Apalagi menjelang bulan Ramadhan, yang biasanya tingkat konsumsi masyarakat akan cenderung meningkat. Selain itu, rantai pasok juga jangan sampai terganggu. Sebab hal ini merupakan salah satu variabel yang dapat memicu kenaikan harga.
Kendati demikian, saya juga berharap agar upaya pemerintah dalam menjaga stabilitas harga mendapat dukungan para pedagang maupun pengusaha. Kalaupun ingin menaikkan harga karena permintaan meningkat pada bulan Ramadhan, lakukanlah secara wajar agar daya beli masyarakat terus terjaga.
Sumber : https://kumparan.com